Monday, February 25, 2013

Hadits-Hadits Palsu Tentang Keutamaan Shalat & Puasa Di Bulan Rajab

Apabila kita memperhatikan hari‐hari, pekan‐pekan, bulan‐bulan,
sepanjang tahun serta malam dan siangnya, niscaya kita akan
mendapatkan bahwa Allah Yang Maha Bijaksana mengistimewakan
sebagian dari sebagian lainnya dengan keistimewaan dan keutamaan
tertentu. Ada bulan yang dipandang lebih utama dari bulan lainnya,
misalnya bulan Ramadhan dengan kewajiban puasa pada siangnya
dan sunnah menambah ibadah pada malamnya. Di antara bulanbulan
itu ada pula yang dipilih sebagai bulan haram atau bulan yang
dihormati, dan diharamkan berperang pada bulan‐bulan itu. Allah
juga mengkhususkan hari Jum’at dalam sepekan untuk berkumpul
shalat Jum’at dan mendengarkan khutbah yang berisi peringatan dan
nasehat. Ibnul Qayyim menerangkan dalam kitabnya, Zaadul Ma’aad,[1] bahwa Jum’at mempunyai lebih dari tiga puluh keutamaan, kendatipun demikian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
melarang mengkhususkan ibadah pada malam Jum’at atau puasa pada hari Jum’at, sebagaimana sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam. “Artinya : Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Janganlah kalian mengkhususkan malam Jum’at untuk beribadah dari malam‐malam yang lain dan jangan pula kalian mengkhususkan puasa pada hari Jum’at dari hari‐hari yang lainnya,
kecuali bila bertepatan (hari Jum’at itu) dengan puasa yang biasa
kalian berpuasa padanya.” [HR. Muslim (no. 1144 (148)) dan Ibnu
Hibban (no. 3603), lihat Silsilatul Ahaadits ash‐Shahihah (no. 980)]

Allah Yang Mahabijaksana telah mengutamakan sebagian waktu
malam dan siang dengan menjanjikan terkabulnya do’a dan
terpenuhinya permintaan. Demikian Allah mengutamakan tiga
generasi pertama sesudah diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam dan mereka dianggap sebagai generasi terbaik
apabila dibandingkan dengan generasi berikutnya sampai hari
Kiamat. Ada beberapa tempat dan masjid yang diutamakan oleh Allah
dibandingkan tempat dan masjid lainnya. Semua hal tersebut kita
ketahui berdasarkan hadits‐hadits yang shahih dan contoh yang benar Adapun tentang bulan Rajab, keutamaannya dalam masalah shalat
dan puasa padanya dibanding dengan bulan‐bulan yang lainnya,
semua haditsnya sangat lemah dan palsu. Oleh karena itu tidak boleh
seorang Muslim mengutamakan dan melakukan ibadah yang khusus
pada bulan Rajab.
Di bawah ini akan saya berikan contoh hadits‐hadits palsu tentang
keutamaan shalat dan puasa di bulan Rajab.

HADITS PERTAMA
“Artinya : Rajab bulan Allah, Sya’ban bulanku dan Ramadhan adalah
bulan ummatku”
Keterangan: HADITS INI “ MAUDHU’
Kata Syaikh ash‐Shaghani (wafat th. 650 H): “Hadits ini maudhu’.”
[Lihat Maudhu’atush Shaghani (I/61, no. 129)]
Hadits tersebut mempunyai matan yang panjang, lanjutan hadits itu
ada lafazh:
“Artinya : Janganlah kalian lalai dari (beribadah) pada malam Jum’at
pertama di bulan Rajab, karena malam itu Malaikat menamakannya
Raghaaib...”Keterangan: HADITS INI MAUDHU’
Kata Ibnul Qayyim (wafat th. 751 H): “Hadits ini diriwayatkan oleh
‘Abdur Rahman bin Mandah dari Ibnu Jahdham, telah menceritakan
kepada kami ‘Ali bin Muhammad bin Sa’id al‐Bashry, telah
menceritakan kepada kami Khalaf bin ‘Abdullah as‐Shan’any, dari
Humaid Ath‐Thawil dari Anas, secara marfu’. [Al‐Manaarul Muniif
fish Shahih wadh Dha’if (no. 168‐169)]
Kata Ibnul Jauzi (wafat th. 597 H): “Hadits ini palsu dan yang
tertuduh memalsukannya adalah Ibnu Jahdham, mereka menuduh
sebagai pendusta. Aku telah mendengar Syaikhku Abdul Wahhab al‐
Hafizh berkata: “Rawi‐rawi hadits tersebut adalah rawi‐rawi yang
majhul (tidak dikenal), aku sudah periksa semua kitab, tetapi aku
tidak dapati biografi hidup mereka.” [Al‐Maudhu’at (II/125), oleh
Ibnul Jauzy]
Imam adz‐Dzahaby berkata: “ ’Ali bin ‘Abdullah bin Jahdham az‐
Zahudi, Abul Hasan Syaikhush Shuufiyyah pengarang kitab Bahjatul
Asraar dituduh memalsukan hadits.” Kata para ulama lainnya: “Dia dituduh membuat hadits palsu tentang
shalat ar‐Raghaa'ib.” [Periksa: Mizaanul I’tidal (III/142‐143, no.
5879)]
HADITS KEDUA
“Artinya : Keutamaan bulan Rajab atas bulan‐bulan lainnya seperti
keutamaan al‐Qur'an atas semua perkataan, keutamaan bulan
Sya’ban seperti keutamaanku atas para Nabi, dan keutamaan bulan
Ramadhan seperti keutamaan Allah atas semua hamba.”
Keterangan: HADITS INI MAUDHU’
Kata al Hafizh Ibnu Hajar al‐‘Asqalany: “Hadits ini palsu.” [Lihat al‐
Mashnu’ fii Ma’rifatil Haditsil Maudhu’ (no. 206, hal. 128), oleh
Syaikh Ali al‐Qary al‐Makky (wafat th. 1014 H)]
HADITS KETIGA:
“Artinya : Barangsiapa shalat Maghrib di malam pertama bulan
Rajab, kemudian shalat sesudahnya dua puluh raka’at, setiap raka’at
membaca al‐Fatihah dan al‐Ikhlash serta salam sepuluh kali. Kalian
tahu ganjarannya? Sesungguhnya Jibril mengajarkan kepadaku
demikian.” Kami berkata: “Allah dan Rasul‐Nya yang lebih
mengetahui, dan berkata: ‘Allah akan pelihara dirinya, hartanya, keluarga dan anaknya serta diselamatkan dari adzab Qubur dan ia
akan melewati as‐Shirath seperti kilat tanpa dihisab, dan tidak
disiksa.’”
Keterangan: HADITS MAUDHU’
Kata Ibnul Jauzi: “Hadits ini palsu dan kebanyakan rawi‐rawinya
adalah majhul (tidak dikenal biografinya).” [Lihat al‐Maudhu’at Ibnul
Jauzy (II/123), al‐Fawaa'idul Majmu’ah fil Ahaadits Maudhu’at oleh
as‐Syaukany (no. 144) dan Tanziihus Syari’ah al‐Marfu’ah ‘anil
Akhbaaris Syanii’ah al‐Maudhu’at (II/89), oleh Abul Hasan ‘Ali bin
Muhammad bin ‘Araaq al‐Kinani (wafat th. 963 H).]
HADITS KEEMPAT
“Artinya : Barangsiapa puasa satu hari di bulan Rajab dan shalat
empat raka’at, di raka’at pertama baca ‘ayat Kursiy’ seratus kali dan
di raka’at kedua baca ‘surat al‐Ikhlas’ seratus kali, maka dia tidak
mati hingga melihat tempatnya di Surga atau diperlihatkan
kepadanya (sebelum ia mati)”
Keterangan: HADITS INI MAUDHU’
Kata Ibnul Jauzy: “Hadits ini palsu, dan rawi‐rawinya majhul serta
seorang perawi yang bernama ‘Utsman bin ‘Atha’ adalah perawi matruk menurut para Ahli Hadits.” [Al‐Maudhu’at (II/123‐124).]
Menurut al‐Hafizh Ibnu Hajar al‐‘Asqalany, ‘Utsman bin ‘Atha’ adalah
rawi yang lemah. [Lihat Taqriibut Tahdziib (I/663 no. 4518)]
HADITS KELIMA
“Artinya : Barangsiapa puasa satu hari di bulan Rajab (ganjarannya)
sama dengan berpuasa satu bulan.”
Keterangan: HADITS INI SANGAT LEMAH
Hadits ini diriwayatkan oleh al‐Hafizh dari Abu Dzarr secara marfu’.
Dalam sanad hadits ini ada perawi yang bernama al‐Furaat bin as‐
Saa'ib, dia adalah seorang rawi yang matruk. [Lihat al‐Fawaa‐id al‐
Majmu’ah (no. 290)]
Kata Imam an‐Nasa'i: “Furaat bin as‐Saa'ib Matrukul hadits.” Dan
kata Imam al‐Bukhari dalam Tarikhul Kabir: “Para Ahli Hadits
meninggalkannya, karena dia seorang rawi munkarul hadits, serta
dia termasuk rawi yang matruk kata Imam ad‐Daraquthni.” [Lihat
adh‐Dhu’afa wa Matrukin oleh Imam an‐Nasa'i (no. 512), al‐Jarh wat
Ta’dil (VII/80), Mizaanul I’tidal (III/341) dan Lisaanul Mizaan
(IV/430).] HADITS KEENAM
“Artinya : Sesungguhnya di Surga ada sungai yang dinamakan ‘Rajab’
airnya lebih putih dari susu dan lebih manis dari madu, barangsiapa
yang puasa satu hari pada bulan Rajab maka Allah akan memberikan
minum kepadanya dari air sungai itu.”
Keterangan: HADITS INI BATHIL
Hadits ini diriwayatkan oleh ad‐Dailamy (I/2/281) dan al‐Ashbahany
di dalam kitab at‐Targhib (I‐II/224) dari jalan Mansyur bin Yazid al‐
Asadiy telah menceritakan kepada kami Musa bin ‘Imran, ia berkata:
“Aku mendengar Anas bin Malik berkata, ...”
Imam adz‐Dzahaby berkata: “Mansyur bin Yazid al‐Asadiy
meriwayatkan darinya, Muhammad al‐Mughirah tentang keutamaan
bulan Rajab. Mansyur bin Yazid adalah rawi yang tidak dikenal dan
khabar (hadits) ini adalah bathil.” [Lihat Mizaanul I’tidal (IV/ 189)]
Syaikh Muhammad Nashiruddin al‐Albany berkata: “Musa bin
‘Imraan adalah majhul dan aku tidak mengenalnya.” [Lihat Silsilah
Ahaadits adh‐Dha’ifah wal Maudhu’ah (no. 1898)] HADITS KETUJUH.
“Artinya : Barangsiapa berpuasa tiga hari pada bulan Rajab,
dituliskan baginya (ganjaran) puasa satu bulan, barangsiapa
berpuasa tujuh hari pada bulan Rajab, maka Allah tutupkan baginya
tujuh buah pintu api Neraka, barangsiapa yang berpuasa delapan
hari pada bulan Rajab, maka Allah membukakan baginya delapan
buah pintu dari pintu‐pintu Surga. Dan barang siapa puasa nishfu
(setengah bulan) Rajab, maka Allah akan menghisabnya dengan
hisab yang mudah.”
Keterangan: HADITS INI PALSU
Hadits ini termaktub dalam kitab al‐Fawaa'idul Majmu’ah fil Ahaadits
al‐Maudhu’ah (no. 288). Setelah membawakan hadits ini asy‐
Syaukani berkata: “Suyuthi membawakan hadits ini dalam kitabnya,
al‐Laaliy al‐Mashnu’ah, ia berkata: ‘Hadits ini diriwayatkan dari jalan
Amr bin al‐Azhar dari Abaan dari Anas secara marfu’.’”
Dalam sanad hadits tersebut ada dua perawi yang sangat lemah:
[1]. ‘Amr bin al‐Azhar al‐‘Ataky.
Imam an‐Nasa‐i berkata: “Dia Matrukul Hadits.” Sedangkan kata
Imam al‐Bukhari: “Dia dituduh sebagai pendusta.” Kata Imam Ahmad: “Dia sering memalsukan hadits.” [Periksa, adh‐Dhu’afa wal
Matrukin (no. 478) oleh Imam an‐Nasa‐i, Mizaanul I’tidal (III/245‐
246), al‐Jarh wat Ta’dil (VI/221) dan Lisaanul Mizaan (IV/353)]
[2]. Abaan bin Abi ‘Ayyasy, seorang Tabi’in shaghiir.
Imam Ahmad dan an‐Nasa‐i berkata: “Dia Matrukul Hadits
(ditinggalkan haditsnya).” Kata Yahya bin Ma’in: “Dia matruk.” Dan
beliau pernah berkata: “Dia rawi yang lemah.” [Periksa: Adh Dhu’afa
wal Matrukin (no. 21), Mizaanul I’tidal (I/10), al‐Jarh wat Ta’dil
(II/295), Taqriibut Tahdzib (I/51, no. 142)]
Hadits ini diriwayatkan juga oleh Abu Syaikh dari jalan Ibnu ‘Ulwan
dari Abaan. Kata Imam as‐Suyuthi: “Ibnu ‘Ulwan adalah pemalsu
hadits.” [Lihat al‐Fawaaidul Majmu’ah (hal. 102, no. 288).
Sebenarnya masih banyak lagi hadits‐hadits tentang keutamaan
Rajab, shalat Raghaa'ib dan puasa Rajab, akan tetapi karena
semuanya sangat lemah dan palsu, penulis mencukupkan tujuh
hadits saja.
PENJELASAN PARA ULAMA TENTANG MASALAH RAJAB
[1]. Imam Ibnul Jauzy menerangkan bahwa hadits‐hadits tentang
Rajab, Raghaa'ib adalah palsu dan rawi‐rawi majhul. [Lihat al‐
Maudhu’at (II/123‐126)]
[2]. Kata Imam an‐Nawawy:“Shalat Raghaa‐ib ini adalah satu bid’ah
yang tercela, munkar dan jelek.”[Lihat as‐Sunan wal Mubtada’at (hal.
140)]
Kemudian Syaikh Muhammad Abdus Salam Khilidhir, penulis kitab
as‐Sunan wal Mubtada’at berkata: “Ketahuilah setiap hadits yang
menerangkan shalat di awal Rajab, pertengahan atau di akhir Rajab,
semuanya tidak bisa diterima dan tidak boleh diamalkan.” [ Lihat as‐
Sunan wal Mubtada’at (hal. 141)]
[3]. Kata Syaikh Muhammad Darwiisy al‐Huut: “Tidak satupun hadits
yang sah tentang bulan Rajab sebagaimana kata Imam Ibnu Rajab.”
[Lihat Asnal Mathaalib (hal. 157)]
[4]. Kata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (wafat th. 728 H): “Adapun
shalat
Raghaa'ib, tidak ada asalnya (dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam),
bahkan termasuk bid’ah.... Atsar yang menyatakan (tentang shalat itu) dusta dan palsu menurut kesepakatan para ulama dan tidak
pernah sama sekali disebutkan (dikerjakan) oleh seorang ulama Salaf
dan para Imam...”
Selanjutnya beliau berkata lagi: “Shalat Raghaa'ib adalah BID’AH
menurut
kesepakatan para Imam, tidak pernah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam menyu‐ruh melaksanakan shalat itu, tidak pula
disunnahkan oleh para khalifah sesudah beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan tidak pula seorang Imam pun yang menyunnahkan shalat
ini, seperti Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad, Imam Abu
Hanifah, Imam ats‐Tsaury, Imam al‐Auzaiy, Imam Laits dan selain
mereka.
Hadits‐hadits yang diriwayatkan tentang itu adalah dusta menurut
Ijma’ para Ahli Hadits. Demikian juga shalat malam pertama bulan
Rajab, malam Isra’, Alfiah nishfu Sya’ban, shalat Ahad, Senin dan
shalat hari‐hari tertentu dalam satu pekan, meskipun disebutkan
oleh sebagian penulis, tapi tidak diragukan lagi oleh orang yang
mengerti hadits‐hadits tentang hal tersebut, semuanya adalah hadits
palsu dan tidak ada seorang Imam pun (yang terkemuka)
menyunnahkan shalat ini... Wallahu a’lam.” [Lihat Majmu’ Fataawa [5]. Kata Ibnu Qayyim al‐Jauziyyah: “Semua hadits tentang shalat
Raghaa'ib pada malam Jum’at pertama di bulan Rajab adalah dusta
yang diada‐adakan atas nama Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Dan semua hadits yang menyebutkan puasa Rajab
dan shalat pada beberapa malamnya semuanya adalah dusta (palsu)
yang diada‐adakan.” [Lihat al‐Manaarul Muniif fish Shahiih wadh
Dha’iif (hal. 95‐97, no. 167‐172) oleh Ibnul Qayyim, tahqiq: ‘Abdul
Fattah Abu Ghaddah]
[6]. Al‐Hafizh Ibnu Hajar al‐Asqalany mengatakan dalam kitabnya,
Tabyiinul ‘Ajab bima Warada fii Fadhli Rajab: “Tidak ada riwayat
yang sah yang menerangkan tentang keutamaan bulan Rajab dan
tidak pula tentang puasa khusus di bulan Rajab, serta tidak ada pula
hadits yang shahih yang dapat dipegang sebagai hujjah tentang
shalat malam khusus di bulan Rajab.”
[7]. Imam al‐‘Iraqy yang mengoreksi hadits‐hadits yang terdapat
dalam kitab Ihya’ ‘Uluumuddin, menerangkan bahwa hadits tentang
puasa dan shalat Raghaa'ib adalah hadits maudhu’ (palsu). [Lihat
Ihya’ ‘Uluumuddin (I/202)] [8]. Imam asy‐Syaukani menukil perkataan ‘Ali bin Ibra‐him al‐
‘Aththaar, ia berkata dalam risalahnya: “Sesungguhnya riwayat
tentang keutamaan puasa Rajab, semuanya adalah palsu dan lemah,
tidak ada asalnya (dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam).” [Lihat al‐
Fawaa‐idul Majmu’ah fil Ahaaditsil Maudhu’ah (hal. 381)] [9]. Syaikh
Abdus Salam, penulis kitab as‐Sunan wal Mubtada’at menyatakan:
“Bahwa membaca kisah tentang Isra’ dan Mi’raj dan merayakannya
pada malam tanggal dua puluh tujuh Rajab adalah BID’AH. Berdzikir
dan mengadakan peribadahan tertentu untuk merayakan Isra’ dan
Mi’raj adalah BID’AH, do’a‐do’a yang khusus dibaca pada bulan Rajab
dan Sya’ban semuanya tidak ada sumber (asal pengambilannya) dan
BID’AH, sekiranya yang demikian itu perbuatan baik, niscaya para
Salafush Shalih sudah melaksanakannya.” [Lihat as‐Sunan wal
Mubtada’at (hal. 143)]
[10]. Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baaz, ketua Dewan Buhuts
‘Ilmiyyah, Fatwa, Da’wah dan Irsyad, Saudi Arabia, beliau berkata
dalam kitabnya, at‐Tahdzir minal Bida’ (hal. 8): “Rasulullah
Shallallahu ‘alaihiwa sallam dan para Shahabatnya tidak pernah
mengadakan upacara Isra’ dan Mi’raj dan tidak pula mengkhususkan
suatu ibadah apapun pada malam tersebut. Jika peringatan malam
tersebut disyar’iatkan, pasti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan kepada ummat, baik melalui ucapan maupun
perbuatan. Jika pernah dilakukan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
pasti diketahui dan masyhur, dan ten‐tunya akan disampaikan oleh
para Shahabat kepada kita...
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang
paling banyak memberi nasihat kepada manusia, beliau telah
menyampaikan risalah kerasulannya sebaik‐baik penyampaian dan
telah menjalankan amanah Allah dengan sempurna.
Oleh karena itu, jika upacara peringatan malam Isra’ dan Mi’raj dan
merayakan itu dari agama Allah, ten‐tunya tidak akan dilupakan dan
disembunyikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tetapi
karena hal itu tidak ada, maka jelaslah bahwa upacara tersebut
bukan dari ajaran Islam sama sekali. Allah telah menyempurnakan
agama‐Nya bagi ummat ini, mencukupkan nikmat‐Nya dan Allah
mengingkari siapa saja yang berani mengada‐adakan sesuatu yang
baru dalam agama, karena cara tersebut tidak dibenarkan oleh Allah:
“Artinya : Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu,
dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat‐Ku, dan telah Kuridhai
Islam jadi agama bagimu.” [Al‐Maa‐idah: 3]
KHATIMAH
Orang yang mempunyai bashirah dan mau mendengarkan nasehat
yang baik, dia akan berusaha meninggalkan segala bentuk bid’ah,
karena setiap bid’ah adalah sesat, sebagaimana sabda Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Artinya : Tiap‐tiap bid’ah itu sesat dan tiap‐tiap kesesatan di
Neraka.”[HSR. An‐Nasa'i (III/189) dari Jabir radhiyallahu ‘anhu
dalam Shahih Sunan an‐Nasa'i (I/346 no. 1487) dan Misykatul
Mashaabih (I/51)]
Para ulama, ustadz, kyai yang masih membawakan hadits‐hadits ang
lemah dan palsu, maka mereka digo‐longkan sebagai pendusta.
Sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Dari Samurah bin Jundub dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang‐siapa yang
menceritakan satu hadits dariku, padahal dia tahu bahwa hadits itu
dusta, maka dia termasuk salah seorang dari dua pendusta.” [HSR.
Ahmad (V/20), Muslim (I/7) dan Ibnu Majah (no. 39)]

No comments:

Post a Comment