Monday, February 25, 2013

Makna dien dan Konsekwensinya

Arti “dien” tidak hanya “agama/ugama” dalam pengertian sansekerta yang bermakna “tidak rusak” dan dipahami sebagai aturan ritual. Ia berasal dari bahasa Arab yang memiliki makna: al-itaa’ah (ketaatan); al-qahru wal-ghalabah (tunduk dan takluk); al-hudud wal-qawanin (hukum dan undang-undang); dan al-jazaa’ (balasan).

Dien dari sisi sumbernya, terbagi menjadi dua: dienullah (Undang-Undang Allah) dan dienunnaas (Undang-Undang manusia). Dienullah adalah Islam Ciri-ciri utamanya adalah ia bersumber dari wahyu Allah sejak nabi-nabi terdahulu. Ciri lain, ia mutlak benar dan syumul (komprehensif) yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Sifat ke-syumulan,-nya berlaku universal; mencakup seluruh bangsa pada setiap zaman. Allah Ta’ala menegaskan: “Sesungguhnya, dien yang benardi sisi Allah hanyalah Islam.”

Adapun Dien Allah yang terakhir adalah Al Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW yang merupakan penyempurnaan Dien-Dien sebelumnya oleh karenanya Dienul Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW sebagai Nasikh (penghapus) atas segala Dien sebelumnya.

Sedangkan dienun-naas adalah Undang-Undang manusia. Sumber ajarannya adalah otak manusia. Nilai-nilainya sangat tergantung pada subyektifitas manusia yang sangat beragam. Dan yang pasti, ia bathil di sisi Allah. Jika diamalkan hanya akan membawa bencana dunia di akhirat. Karenanya, tak ada pilihan bagi manusia kecuali Dinul Islam bila ingin selamat dunia-akhirat.

Dengan demikian, memeluk dienul-Islam berarti siap taat, patuh, dan berhukum kepada Allah Ta’ala. Dienul-Islam adalah manhajul hayah (sebuah sistem hidup). Manusia yang enggan berhukum dengan hukum Allah, hanya akan menghantarkan hidupnya menjadi tak bermakna; mengantarkannya pada derajat rendah bahkan lebih rendah dari binatang. ; dan mengantarkan kepada kekufuran.

Ibnu Taimiyyah, Ulama terkemuka abad 8 H berkata:

“Tidak dapat diragukan bahwa orang yang tidak meyakini kewajiban memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah kepada rasul-Nya, maka dia adalah kafir. Siapa yang secara sukarela memutuskan perkara di antara manusia menurut apa yang dilihatnya adil, tanpa mengikuti apa yang disyariatkan oleh Allah, maka dia adalah kafir. Setiap unsur tentu mendambakan keadilan, dan keadilan itu bisa berupa model yang dibuat para pemimpinnya. Bahkan banyak orang-orang yang menisbatkan diri kepada Islam (mengaku sebagai seorang muslim) namun memutuskan perkara menurut tradisi mereka, padahal Allah tidak memerintahkan yang demikian itu; seperti yang dilakukan pemuka Baduy, mereka ditaati dan dipatuhi, mereka berpendapat bahwa hukum tiulah yang harus ditaati, tanpa Alkitan dan Assunah maka hal ini merupakan kekufuran. Banyak orang memeluk Islam, namun mereka tidak memutuskan perkara, melainkan menurut tradisi yang berlaku. Jika mereka tahu bahwa memutuskan perkara tidak boleh dilakukan kecuali menurut apa yang diturunkan Allah, tapi mereka tidak melakukannya bahkan merasa lebih berkenan memutuskan perkara meski bertentangan dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah kafir. Sebab, selagi manusia menghalalkan hal yang haram yang sudah disepakati keharamannya, atau mengharamkan hal yang halal yang sudah disepakati kehalalannya, atau mengganti ketetapan syariat yang sudah disepakati, maka dia adalah kafir dan murtad menurut kesepakatan fuqaha’. Tentang orang semacam inilah turun firman Allah; Barang siapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir , dengan kata lain, dia memperkenankan memutuskan perkara menurut selain yang diturunkan Allah. 

No comments:

Post a Comment