Arti “dien” tidak hanya “agama/ugama” dalam pengertian sansekerta
yang bermakna “tidak rusak” dan dipahami sebagai aturan ritual. Ia
berasal dari bahasa Arab yang memiliki makna: al-itaa’ah (ketaatan);
al-qahru wal-ghalabah (tunduk dan takluk); al-hudud wal-qawanin (hukum
dan undang-undang); dan al-jazaa’ (balasan).
Dien dari sisi
sumbernya, terbagi menjadi dua: dienullah (Undang-Undang Allah) dan
dienunnaas (Undang-Undang manusia). Dienullah adalah Islam Ciri-ciri
utamanya adalah ia bersumber dari wahyu Allah sejak nabi-nabi terdahulu.
Ciri lain, ia mutlak benar dan syumul (komprehensif) yang mengatur
seluruh aspek kehidupan manusia. Sifat ke-syumulan,-nya berlaku
universal; mencakup seluruh bangsa pada setiap zaman. Allah Ta’ala
menegaskan: “Sesungguhnya, dien yang benardi sisi Allah hanyalah Islam.”
Adapun
Dien Allah yang terakhir adalah Al Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad
SAW yang merupakan penyempurnaan Dien-Dien sebelumnya oleh karenanya
Dienul Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW sebagai Nasikh
(penghapus) atas segala Dien sebelumnya.
Sedangkan dienun-naas
adalah Undang-Undang manusia. Sumber ajarannya adalah otak manusia.
Nilai-nilainya sangat tergantung pada subyektifitas manusia yang sangat
beragam. Dan yang pasti, ia bathil di sisi Allah. Jika diamalkan hanya
akan membawa bencana dunia di akhirat. Karenanya, tak ada pilihan bagi
manusia kecuali Dinul Islam bila ingin selamat dunia-akhirat.
Dengan
demikian, memeluk dienul-Islam berarti siap taat, patuh, dan berhukum
kepada Allah Ta’ala. Dienul-Islam adalah manhajul hayah (sebuah sistem
hidup). Manusia yang enggan berhukum dengan hukum Allah, hanya akan
menghantarkan hidupnya menjadi tak bermakna; mengantarkannya pada
derajat rendah bahkan lebih rendah dari binatang. ; dan mengantarkan
kepada kekufuran.
Ibnu Taimiyyah, Ulama terkemuka abad 8 H berkata:
“Tidak
dapat diragukan bahwa orang yang tidak meyakini kewajiban memutuskan
perkara menurut apa yang diturunkan Allah kepada rasul-Nya, maka dia
adalah kafir. Siapa yang secara sukarela memutuskan perkara di antara
manusia menurut apa yang dilihatnya adil, tanpa mengikuti apa yang
disyariatkan oleh Allah, maka dia adalah kafir. Setiap unsur tentu
mendambakan keadilan, dan keadilan itu bisa berupa model yang dibuat
para pemimpinnya. Bahkan banyak orang-orang yang menisbatkan diri kepada
Islam (mengaku sebagai seorang muslim) namun memutuskan perkara menurut
tradisi mereka, padahal Allah tidak memerintahkan yang demikian itu;
seperti yang dilakukan pemuka Baduy, mereka ditaati dan dipatuhi, mereka
berpendapat bahwa hukum tiulah yang harus ditaati, tanpa Alkitan dan
Assunah maka hal ini merupakan kekufuran. Banyak orang memeluk Islam,
namun mereka tidak memutuskan perkara, melainkan menurut tradisi yang
berlaku. Jika mereka tahu bahwa memutuskan perkara tidak boleh dilakukan
kecuali menurut apa yang diturunkan Allah, tapi mereka tidak
melakukannya bahkan merasa lebih berkenan memutuskan perkara meski
bertentangan dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah kafir.
Sebab, selagi manusia menghalalkan hal yang haram yang sudah disepakati
keharamannya, atau mengharamkan hal yang halal yang sudah disepakati
kehalalannya, atau mengganti ketetapan syariat yang sudah disepakati,
maka dia adalah kafir dan murtad menurut kesepakatan fuqaha’. Tentang
orang semacam inilah turun firman Allah; Barang siapa yang tidak
memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu
adalah orang-orang kafir , dengan kata lain, dia memperkenankan
memutuskan perkara menurut selain yang diturunkan Allah.
Monday, February 25, 2013
Makna dien dan Konsekwensinya
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment